Legenda Mermaid dan Merman dari masa ke masa

Salah satu misteri terbesar di dalam dunia Cryptozoology adalah makhluk setengah manusia setengah ikan yang disebut Mermaid atau putri duyung. Karena karakternya yang aneh, makhluk ini kemudian lebih sering dikaitkan dengan hal mistis ketimbang sains.


Mermaid adalah sebuah istilah yang diberikan kepada makhluk air yang memiliki tubuh dari pinggang ke atas seperti perempuan sedangkan pinggang ke bawah seperti seekor ikan. Walaupun kita hanya pernah mendengar makhluk ini dari sekumpulan dongeng, keberadaan makhluk ini bisa dilacak di dalam literatur hingga 2.000 tahun yang lalu.

Kata Mermaid berasal dari kata Mere yang berarti Laut (dalam bahasa Inggris kuno) dan kata Maid yang berarti perempuan. Jadi, makhluk yang disebut sebagai Mermaid adalah makhluk setengah manusia setengah ikan yang berjenis kelamin perempuan, sedangkan yang berjenis kelamin pria disebut Merman.

Dalam dongeng, makhluk ini disebut suka duduk di atas batu di dekat pantai, bernyanyi, memegangi cermin sambil mengagumi kecantikannya sendiri. Nyanyiannya disebut mengandung kekuatan mistis sehingga manusia yang mendengarnya akan terpesona hingga tewas karena tenggelam.

Di Cornwall, Inggris, ada sebuah batu yang disebut sebagai batu Mermaid karena seekor Mermaid disebut pernah duduk di atas batu itu dan bernyanyi hingga menyebabkan seorang nelayan lokal bernama Matthew Trawella tewas karenanya.

Mermaid dalam kebudayaan bangsa-bangsaKisah pertama mengenai makhluk ini bisa dilacak hingga tahun 1.000 SM di mitologi Assyria. Dewi Atargatis, ibu dari ratu Semiramis, disebut jatuh cinta kepada seorang gembala dari kalangan manusia yang fana. Suatu hari, tanpa sengaja, sang dewi membunuh gembala itu.

Karena sedih, Atargatis mencoba bunuh diri dengan terjun ke danau untuk mengambil rupa seekor ikan. Tetapi, sang danau menolak untuk menyembunyikan kecantikan yang dimiliki sang dewi. Jadi ia hanya mengubahnya menjadi ikan dari pinggang ke bawah.

Kisah dari Assyria ini mungkin menjadi dasar munculnya legenda mengenai mermaid di seluruh dunia.

Dalam bukunya yang berjudul Curious Myths of the Middle Ages yang terbit tahun 1884, ahli kisah rakyat bernama S. Baring Gould percaya kalau kisah mermaid dan merman bermula dari kisah dewa atau dewi setengah ikan di agama-agama purba.

Dewa Oannes dari Khaldea dan Dewa Dagon dari Filistin memiliki rupa seperti Mermaid. Dewa Coxcox dan Teocipactli dari Mexico juga memiliki rupa setengah ikan. Legenda Indian Amerika bahkan menyebutkan kalau mereka dibawa keluar dari Asia oleh manusia ikan. Dari semuanya, mungkin yang paling terkenal adalah dewa Triton dan Dewi Siren dalam legenda Yunani kuno yang juga memiliki tubuh setengah ikan.

Selain Eropa dan Timur tengah, kisah mengenai makhluk ini juga bisa dijumpai di mitologi di berbagai negara di Afrika dan Asia.

Di Afrika, makhluk serupa Mermaid disebut Mami Wata yang dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit dan membawa keberuntungan bagi mereka yang mengikutinya.

Dugong dan Manatee
Kebanyakan peneliti tentu saja menganggap keberadaan makhluk-makhluk seperti Mermaid sebagai hoax. Sebagian lain menganggapnya sebagai salah identifikasi. Tersangkanya yang paling utama adalah hewan yang masuk ke dalam golongan Sirenian, makhluk air herbivora yang berdiam di sungai dan laut.

Dua makhluk yang tergolong ke dalam Sirenian diantaranya adalah Dugong dan Manatee. Kedua makhluk ini memiliki adaptasi yang luar biasa di dalam laut. Walaupun terlihat gemuk, namun dalam beberapa pose, makhluk ini bisa dikira sebagai Mermaid. Misalnya, ketika mereka menyusui bayi, mereka akan menggendongnya di dada sehingga bisa dikira sebagai dada seorang wanita oleh para saksi yang menyaksikannya dari kejauhan.

Dugong

Manatee

Walaupun sepertinya banyak yang sepakat dengan identitas Manatee atau Dugong sebagai Mermaid, namun, ketika kita meneliti catatan sejarah, kita bisa menemukan berbagai kesaksian yang sepertinya mengkonfirmasi perjumpaan dengan makhluk yang benar-benar serupa mermaid atau merman (bukan Dugong atau Manatee).

Penampakan Mermaid dalam sejarah
Pada tahun 558 Masehi, Disebutkan kalau seekor Mermaid berhasil ditangkap oleh seorang nelayan di Irlandia. Mermaid itu kemudian dibawa ke desa dan dibaptis oleh para penduduk. Tidak lama kemudian, makhluk itu mati.

Lalu, seorang biarawan bernama Ralph Coggeshall pernah menceritakan kalau seekor Merman pernah ditangkap oleh para nelayan di Suffolk pada tahun 1187. Makhluk itu tidak dapat berbicara dan segera dibawa ke desa untuk diperiksa. Bahkan setelah disiksa, makhluk itu masih tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia bisa berbicara. Merman tersebut kemudian dipenjara untuk beberapa lama di kastil Orford. Namun ketika penduduk desa hendak memandikannya di laut, ia berhasil melarikan diri.

Masih pada abad ke-12, Speculum Regale dari Islandia mencatat adanya penemuan seekor mermaid di dekat Greenland.
"Makhluk ini terlihat seperti seorang wanita dari pinggang ke kepala. Dadanya juga terlihat persis seperti seorang wanita. Lengannya panjang dan rambutnya halus. Leher dan kepalanya juga menyerupai manusia. Dari pinggang ke bawah, makhluk ini memiliki ekor seperti ikan dengan sisik dan sirip. Makhluk aneh ini terlihat setelah badai besar melanda."
Menurut legenda Islandia, merman juga pernah ditangkap pada tahun 1305 dan 1329.

Perjumpaan dengan mermaid bukan hanya dialami oleh para nelayan lokal atau penduduk awam.

Christopher Colombus disebut juga pernah berjumpa dengan makhluk ini pada tahun 1493.

Colombus sedang berada di lepas pantai Haiti ketika ia melihat ada tiga ekor mermaid yang muncul dari dalam laut ke permukaan. Menurutnya, ketiga makhluk itu tidak secantik seperti yang sering digambarkan, bahkan menurutnya, wajah ketiga makhluk itu terlihat seperti pria.

Kemungkinan Columbus melihat tiga Merman, bukan mermaid. Namun banyak orang yang percaya kalau Columbus hanya menyaksikan tiga ikan Duyung (manatee), makhluk air yang memang sering terlihat di Karibia.

Penjelajah terkenal lainnya, Henry Hudson juga pernah mencatat perjumpaannya dengan Mermaid pada tahun 1608.
"Pagi ini, salah seorang rekan kami melihat seekor Mermaid dan ia segera memanggil rekan-rekan lainnya untuk turut menyaksikannya. Dari pinggang ke atas, punggung dan dadanya seperti seorang wanita. Tubuhnya sama besar seperti salah seorang dari kami. Ketika makhluk itu menyelam ke dalam air, mereka bisa melihat ekornya yang terlihat seperti ekor lumba-lumba yang memiliki pola seperti ikan mackarel. Rekan kami yang menyaksikannya bernama Thomas Hilles dan Robert Rayner."
Pada tahun 1614, penjelajah terkenal lainnya bernama John Smith (yang kita kenal lewat film Pocahontas) juga mengaku melihat Mermaid. Ia menyebutkan kalau makhluk itu memiliki wajah cantik, mata yang bulat, hidung mancung dan rambut hijau yang panjang. Ia menyebut mahluk itu "Sangat cantik".

Nah, ini membuat kita bertanya-tanya. Lihat, foto Manatee di bawah ini sekali lagi.
Jika kalian melihat makhluk seperti ini di lautan, Apakah kalian akan mengidentifikasinya sebagai seorang perempuan cantik?

Apakah John Smith berbohong? Ataukah ia harus segera membuat janji dengan dokter mata?

Pada tahun 1531, seekor merman disebut ditangkap di Laut Baltik dan segera dikirim ke Sigismund, Raja Polandia, dan makhluk ini kemudian dipamerkan ke seluruh pejabat istana. Makhluk ini hanya sanggup bertahan hidup selama 3 hari.

Pada tahun 1560, seorang nelayan dari pulau Mandar di Ceylon disebut berhasil menangkap 7 ekor Merman dan Mermaid. Peristiwa ini disaksikan oleh biarawan Jesuit bernama M.Bosquez, seorang dokter yang bekerja untuk penguasa setempat.

Bosquez kemudian melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada 7 makhluk itu, membedahnya lalu menemukan kalau makhluk itu memiliki struktur internal dan eksternal yang menyerupai manusia.

Pada tahun 1755, Erik Pontoppidan, uskup Bergen yang juga seorang naturalis, menerbitkan sebuah buku berjudul New natural History of Norway yang di dalamnya menceritakan mengenai peristiwa penampakan merman yang disaksikan oleh 3 pelaut dari atas kapal di pantai Denmark, dekat Landscrona. Para pelaut itu berani bersumpah kalau mereka tidak berbohong.
Pada tahun 1785, William Munro, bahkan melaporkan penampakan Mermaid yang sangat mirip dengan dongeng yang sering kita tonton. Mungkin kisah Munro telah menginspirasi karakter mermaid yang sering kita tonton di Film-film.
"Perhatianku tertuju pada sosok yang menyerupai seorang wanita telanjang yang sedang duduk di atas batu sambil menatap lautan lepas. Sepertinya ia sedang menyisir rambutnya yang panjang dan tebal. Ia masih berada di batu itu 3 atau 4 menit lamanya."
Pada tahun 1830, seekor mermaid disebut ditemukan di pantai Benbecula di Outer Hebrides, Skotlandia.
"Bagian atas tubuhnya menyerupai tubuh seorang anak kecil berumur 3 atau 4 tahun. Namun dadanya besar seperti dada wanita dewasa. Rambutnya panjang dan mengkilap sementara kulitnya putih dan halus. Tubuh bagian bawahnya menyerupai ikan salmon, namun tidak memiliki sisik."
Menurut catatan Carmina Gadelica, makhluk itu sebenarnya masih hidup ketika pertama kali ditemukan, namun penduduk desa berusaha menangkapnya dengan cara melemparinya dengan batu sehingga ia tewas karenanya. Sesepuh desa bernama Duncan Shaw kemudian membuat sebuah peti mati kecil untuknya dan memberikan upacara penguburan cara kristen untuk makhluk itu.

Sepertinya sulit membayangkan kalau penduduk desa memberikan upacara penguburan seperti itu untuk seekor manatee atau dugong.

Pada tanggal 4 Juni 1857, dua nelayan dari Skotlandia juga mengaku melihat Mermaid. Mereka menulis di Shipping Gazzette:
"Pada hari kamis tanggal 4 Juni 1857, kami sedang bersiap untuk pergi menangkap ikan. Ketika kami berada 4 mil dari Port Charlotte, saat itu sekitar pukul 6 sore, kami melihat sebuah objek aneh di jarak 6 yard. Objek itu memiliki bentuk seperti seorang wanita dengan dada yang besar. Wajahnya elok dan rambutnya panjang melewati bahunya. Makhluk itu muncul di air dan menatap kami sambil menggoyangkan kepalanya. Kami menyaksikannya sekitar 3 atau 4 menit lamanya."
Penampakan Mermaid lainnya yang cukup ternama terjadi pada tahun 1917.

Pada tahun itu, sebuah kapal bernama Leonidas berlayar dari New York menuju Le Havre di Perancis. Dalam perjalanannya, para kru kapal menyaksikan makhluk serupa mermaid sedang berenang di samping kapal itu selama enam jam. Sesekali makhluk itu menampakkan kepalanya ke atas permukaan air, setiap kali selama kira-kira 15 menit sehingga para kru kapal bisa melihat rupanya dengan jelas. Makhluk itu disebut memiliki rambut panjang berwarna hitam dengan tubuh setengah manusia dan setengah ikan. Semua kru setuju kalau makhluk itu adalah mermaid.

Tentu saja akan sangat susah jika mengatakan kalau sejumlah kru kapal yang terbiasa di laut tidak bisa membedakan antara Manatee dan Mermaid.

Mumi Mermaid
Apa buktinya kalau makhluk yang bernama Mermaid benar-benar ada?

PT Barnum, salah seorang entertainer ternama, pernah mengklaim memiliki bangkai Mermaid yang kemudian dipamerkannya untuk mendapatkan uang. Bangkai-bangkai milik Barnum dikenal dengan nama Feejee Mermaid. Belakangan, mumi-mumi miliknya diketahui sebagai hasil kreasi dengan menggabungkan anggota tubuh beberapa hewan.

Sejak itu, banyak mumi Mermaid yang disimpan di seluruh dunia dicurigai sebagai hasil kreasi para seniman. Beberapa telah terbukti sebagai Hoax, beberapa lainnya belum terbukti walaupun juga diduga sebagai hasil kreasi para seniman.

Ini beberapa contoh feejee mermaid hasil kreasi yang cukup ternama.


Selain mumi yang telah terbukti sebagai hoax, ada lagi mumi yang tidak bisa dipastikan sebagai hoax. Misalnya, mumi Mermaid di bawah ini.

Mumi ini disebut ditemukan di Philipina pada tahun 2003. Lalu, pada tahun 2004, foto makhluk ini kembali beredar dan disebut ditemukan di pantai setelah terjadi tsunami besar Asia pada Desember 2004. Makhluk di dalam foto ini dicurigai sebagai hoax karena bangkai yang sebenarnya tidak pernah ditemukan.


Walaupun legenda Mermaid lebih populer di Eropa, namun di Jepang, kisah mengenai mermaid juga bukan hal yang asing. Di beberapa kuil di sana, tersimpan beberapa mumi Mermaid yang dipercaya oleh pemiliknya sebagai otentik. Walaupun begitu, tentu saja banyak yang percaya kalau mumi-mumi ini juga hasil kreasi sama seperti mumi milik PT Barnum. Namun sayangnya, tidak ada satupun mumi-mumi ini yang pernah diteliti secara serius.

Mumi Mermaid ini tersimpan di kuil Zuiryuji di Osaka dan diterima oleh kuil tersebut pada tahun 1682 dari seorang pedagang.

Mumi Mermaid ini tersimpan di kuil Myouchi di Niigata. Panjangnya sekitar 30 cm

Mumi Mermaid ini tersimpan di markas besar agama Shinto di Fujinomiya di kaki gunung Fuji. Tingginya 170 cm dan disebut telah berusia 1.400 tahun. Legenda menyebutkan kalau Mermaid ini melewati pangeran Shotoku di danau Biwa sekitar 1.400 tahun yang lalu. Mermaid tersebut menceritakan kepada pangeran kalau ia dulunya adalah seorang nelayan yang kemudian dikutuk menjadi mermaid. Sebelum meninggal, ia meminta kepada sang pangeran untuk membuat sebuah kuil dan menyimpan mayatnya di kuil. Jika mumi ini memang hasil kreasi, Apakah kreasi manusia membuat mumi mermaid telah berlangsung sejak 1.400 tahun yang lalu?


Mumi ini adalah mumi Mermaid yang tersimpan di kuil Karukayado di Hashimoto. Panjangnya sekitar 50 cm.


Karena belum pernah diteliti, maka sepertinya kita hanya bisa menebak otentisitas mumi-mumi tersebut.

Antara Hoax dan Cryptid
Para ilmuwan ataupun ahli Crytozoology sejak lama berusaha mengidentifikasi identitas Mermaid yang sesungguhnya. Jika makhluk ini hanyalah sebuah hoax, mengapa catatan mengenai makhluk seperti ini tersebar di berbagai belahan dunia dan bahkan telah bermula sejak ribuan tahun yang lalu?

Apakah kesaksian para pelaut ataupun penduduk desa yang terjadi dalam rentang ribuan tahun bisa disimpulkan sebagai hoax?

Kalau bukan hoax, makhluk apakah mermaid ini sebenarnya?

Walaupun sebagian besar peneliti sepakat dengan teori manatee atau dugong, namun sebagian Cryptozoolog sepakat kalau mermaid mungkin adalah sejenis makhluk laut yang telah punah, walaupun mereka juga belum bisa menentukan identitas makhluk yang dimaksud.

Sementara sebagian peneliti belum mencapai bukti yang konklusif, sebagian masyarakat lebih percaya kalau Mermaid adalah makhluk mistis. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa makhluk seperti ini lebih populer di agama-agama purba. Di Afrika, seorang penyihir yang telah bertobat dari aktifitas sihirnya pernah bersaksi kalau seekor mermaid telah menyusuinya sewaktu ia kecil. Dengan kata lain, mermaid yang dimaksudkannya adalah makhluk mistis gaib yang jelas tidak termasuk ke dalam wilayah Cryptozoology.


http://xfile-enigma.blogspot.com/2010/06/legenda-mermaid-dan-merman.html

Teratorn : Burung hitam misterius dari Pinebarrens

Pada awal Oktober 2007, seorang pria sedang mengemudikan mobilnya di wilayah Virginia Barat. Ia melewati jalanan pedesaan diluar kota Clendenin sekitar pukul 8 pagi. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di tengah jalan kecil yang dilaluinya. Ia segera menginjak rem mobilnya. Tepat dihadapannya, seekor makhluk hitam berdiri dan menatap sang pria dengan tatapan yang misterius.

Pria itu melihat seekor burung hitam berukuran sangat besar yang sedang berdiri di tengah jalan. Burung raksasa itu hanya berjarak beberapa meter darinya. Pengemudi itu begitu terkejut melihat ukuran burung tersebut, yang diperkirakan setinggi 1,2 meter. Kepala burung tersebut bahkan terlihat dari atas kap mobilnya.

Burung itu tertutup oleh bulu hitam tebal. Kepala burung itu terlihat begitu besar walapun masih proporsional dengan tubuhnya. Rentang sayapnya lebar dan menyentuh kedua tepi jalan. Namun yang membuat pengemudi itu merinding, adalah matanya yang hitam gelap. Ia segera mengambil kameranya, kemudian memotret burung tersebut sebelum akhirnya terbang dan menghilang dari pandangan.

Pengemudi itu kemudian berusaha mencari identitas burung raksasa tersebut, dan yang ditemukannya paling mendekati adalah seekor teratorn
, jenis burung raksasa yang dianggap telah punah. Masyarakat indian sering menyebutnya burung halilintar. Pinebarrens sendiri adalah sebuah wilayah dimana banyak terdapat laporan penampakan burung raksasa.


http://xfile-enigma.blogspot.com/2009/04/teratorn-burung-hitam-misterius-dari.html

Misteri bangkai Zuiyo Maru

Pada tanggal 14 Juli 2009 kemarin, seekor hiu purba dari jenis basking shark terdampar di Long Beach. Penemuan hiu ini segera mengingatkan saya akan sebuah misteri yang masih sering diperdebatkan hingga kini. Misteri yang saya maksud adalah penemuan bangkai makhluk misterius di Selandia Baru oleh kapal pemancing Jepang. Bangkai ini adalah bangkai hewan paling terkenal di dunia dan sering disebut dengan bangkai Zuiyo Maru.


Pada pagi hari tanggal 25 April 1977, sekitar 50 km timur Christchurch, Selandia Baru, Sebuah kapal pemancing Jepang bernama Zuiyo Maru tanpa sengaja menjaring satu bangkai hewan dari kedalaman 300 meter. Sekilas, bangkai itu terlihat seperti seekor Plesiosaurus, dinosaurus air yang paling ternama.


Bangkai itu memiliki bau menyengat, beratnya sekitar 1.800 kg dan panjangnya sekitar 10 meter. Menurut para awak kapal yang mengukurnya, panjang leher makhluk itu sekitar satu setengah meter. Ia juga memiliki empat sirip yang besar dan kemerahan dengan ekor sepanjang dua meter. Tidak ada organ internal yang tersisa, namun daging dan lemaknya masih ada terpaut dengan tulangnya. Michihiko Yano, seorang penyelia bagi perusahaan Taiyo Fishery Company yang kebetulan hadir saat penemuan itu segera mengambil foto, mengukur bangkai itu dan membuat sketsanya.

Sayangnya, walaupun para awak kapal mengetahui bahwa bangkai itu adalah sebuah penemuan penting, kapten kapal bernama Akira Tanaka memutuskan untuk membuang bangkai itu kembali ke laut karena ia tidak ingin mengacaukan usaha mereka untuk menangkap ikan. Untungnya sebelum mereka membuang bangkai itu ke laut, mereka memotong sebagian sirip hewan itu sebagai sampel.


Berita penemuan itu segera tersebar luas dan menimbulkan Plesiosaur mania di seluruh Jepang. Data-data yang diambil oleh para awak kapal kemudian diserahkan kepada para peneliti. Sebagian peneliti yang melihat foto bangkai tersebut percaya bahwa bangkai itu adalah seekor Plesiosaurus. Namun ilmuwan lain skeptis.

Lalu sekelompok ilmuwan bertemu untuk membahas identitas bangkai itu. Dan hasil diskusi mereka dipublikasikan pada Juli 1978 oleh La Societe Franco Japonaise D'Oceanographie dengan judul "Collected Papers on the Carcass". Herannya, komite ilmuwan itu masih tidak bisa mencapai kata sepakat mengenai identitas bangkai itu.

Perdebatan antara ilmuwan itu sebenarnya dapat dipahami mengingat bahwa seekor dinosaurus yang hidup berdampingan dengan manusia sangat bertentangan dengan teori Evolusi yang dipercaya oleh sebagian besar Ilmuwan. Karena itu untuk mengerti perdebatan ini, saya membagi para ilmuwan ini kedalam dua kelompok, yaitu Evolusionist dan Creationist.

Evolusionist adalah mereka yang percaya dengan teori evolusi Darwin bahwa makhluk hidup (dinosaurus) berevolusi menjadi makhluk modern seperti yang kita kenal sekarang. Dan tentu saja mereka juga percaya bahwa manusia adalah makhluk modern hasil evolusi dari primata yang lebih rendah (seperti seekor lemur yang baru-baru ini diklaim sebagai missing link). Sedangkan Creationist adalah mereka yang percaya bahwa makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan (inteligent design). Bagi creationist, manusia yang hidup berdampingan dengan dinosaurus bukanlah hal yang aneh atau tidak masuk akal.

Creationist percaya bahwa bangkai itu adalah seekor Plesiosaurus, salah satu jenis Dinosaurus, atau paling tidak makhluk prasejarah lainnya. Sedangkan Evolusionist percaya bahwa itu adalah seekor "Basking Shark" atau Cetorhinus Maxius.

Salah satu ilmuwan Evolusionist paling terkenal yang bernama Kuban mengatakan, " Beberapa bukti menunjukkan bahwa bangkai Zuiyo Maru adalah seekor hiu besar, kemungkinan adalah basking shark." Ia juga mengkritik sekitar 15 Ilmuwan yang menyatakan bahwa bangkai itu adalah "fosil hidup". Kuban menyimpulkan bahwa bangkai tersebut Basking Shark karena ia menemukan protein bernama elastodin yang hanya ditemukan di Hiu.

Namun, argumen ini dapat dengan gampang didebat. Bukankah tidak ada yang pernah mengetahui apakah elastodin juga terdapat pada hewan purba seperti dinosaurus. Lagipula, bukankah hiu juga termasuk hewan prasejarah ? Jadi apabila ditemukan elastodin didalam bangkai itu, tidak berarti bangkai itu adalah seekor basking shark.

Lagipula, para evolusionist dengan gampang mengabaikan kesaksian para awak kapal. Para awak kapal yang menemukan bangkai itu mengatakan bahwa mereka melihat ada empat sirip dan dua dari antaranya adalah sirip atas. Selama proses penyelidikan mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat sirip tunggal (sirip dorsal) seperti yang terdapat pada hiu. Sirip ganda adalah atribut normal yang biasa terdapat pada makhluk-makhluk prasejarah seperti plesiosaurus.

Untuk lebih jelasnya, lihatlah perbandingan antara bangkai itu dengan basking shark. Apakah anda melihat kesamaannya ?


Hingga kini, para evolusionist masih terus mencari missing link (walaupun kadang mereka mengklaim sudah menemukannya, namun kadang mereka sendiri akhirnya menjadi ragu), sedangkan creationist terus mencari bukti bahwa dinosaurus pernah atau masih hidup berdampingan dengan manusia (Nessie contohnya). Saya kira ini akan menjadi pertarungan sains yang sangat seru.

Sumber: http://xfile-enigma.blogspot.com/2009/07/misteri-bangkai-zuiyo-maru.html

Kucing Emas, Hewan Misterius yang Hampir Punah

Kucing Emas, Hewan Misterius yang Hampir Punah. Kucing Emas merupakan jenis yang misterius dan sangat sulit di jumpai saat ini, sedikit sekali pengetahuan mengenai perilaku dan ekologi jenis ini, termasuk populasi mereka di dalam kawasan. pola hidup satwa ini belum diketahui secara jelas tidak seperti jenis kucing hutan lainnya.
[Image: kucingemas2.jpg]
Bulu berwarna mulai dari pirang coklat muda sampai hitam. Pada bagian kepala dan bagian bawah ekornya terdapat garis putih yang dapat dilihat dengan mudah. pada tahun 1996, melalui Photo Trapping, Untuk pertama kalinya berhasil terpetret seekor kucing Emas yang berwarna hitam pekat. Satwa ini dapt ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2.000 m dari permukaan laut.
Hidupnya tidak sesoliter jenis kucing yang lain dan sering terlihat bergerak dalam kelompok, keluarga atau berpasangan. Umumnya satwa ini bergerak di daratan meskipun mereka pandai memanjat dan aktif disiang hari, meskipun mereka pemburu yang ulung di waktu malam. Lokasi yang diperkirakan merupakan habitatnya adalah Tandai dan Gunung Seblat.
[Image: kucingemas3.jpg]
Dan ada suatu artikel yang menyatakan:
Kucing Emas biasa di sebut Golden cat atau Fire cat, hewan ini termasuk salah satu hewan yg ikut dikampanyekan Cegah Satwa Punah oleh komunitas Adsense Surabaya. Kucing emas (Catopuma temminicki) merupakan salah satu dari tujuh jenis kucing yang hidup di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ciri utama dari Kucing Emas adalah hampir seluruh tubuhnya berwarna cokelat ke emas2an (sesuai namanya) tetapi ada juga yg berwarna abu abu atau coklat tua. Ada juga yg berwarna hitam dan jenis ini adalah jenis paling langka!
Kucing emas ini hidup tersebar dari daerah Tibet, Nepal, Cina, Burma, Thailand sampai Indocina, Malaysia, dan Sumatera. Ciri2 lain dari kucing emas ini memiliki berat rata-rata untuk ukuran kucing dewasa jenis tersebut sekitar 8-12 kg dengan panjang dari kepala sampai ekor mencapai 1,2 meter. Sebagaimana saudaranya kucing biasa, binatang ini kadang-kadang terlihat belang-belang tanpa menghilangkan warna spesifiknya. Binatang ini agak panjang dibanding dengan kucing biasa dan tidak pernah ditemui dengan warna hitam seluruhnya. Bagian belakang bundaran telinganya ada garis hitam pendek. Garis putih yang dibatasi warna putih terdapat di pipinya, yang muncul dari sudut bagian dalam matanya. Bagian perutnya selalu berwarna lebih terang dibanding bagian pinggulnya.
[Image: kucingemas1.jpg]
Lebih besar dari sepupunya dari Afrika, kucing emas Temminck Asia berukuran sebesar anjing. Ada lagi yang disebut Fishing Cat yang ditemukan di beberapa bagian dunia lainnya, yang ukurannya juga agak serupa. Wozencraft, dalam penjelasannya yang kontroversial mengenai sistim klasifikasi mengenai binatang ini tahun 1993 menganggap kucing emas Temminck adalah jenis Catopuma, bersama dengan kucing teluk Borneo yang dikatakannya merupakan salah satu versi dari kucing Temminck (Wozencraft 1993) juga. Kucing emas Afrika terpisah dari dua spesies itu dan kini berdiri sendiri dengan jenis (genus) Profelis. Semua kucing-kucing ini diklasifikasikan Sebagai Felis.
sumber: http://haxims.blogspot.com/2009/12/kucing-emas-hewan-langka-yang-hampir.html

Ini sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang. Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok.Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku. Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun?
Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Orang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kadal itu, apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu darimana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di mulutnya …. astaga!!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor kadal lain yang selalu memperhatikan kadal yang terperangkap itu selama 10 tahun. Sungguh ini sebuah cinta…cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor kadal itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, kadal itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.

sumber : http://www.i-dus.com/2010/11/kisah-seekor-kadal-yang-terjepit-selama.html

Ogopogo

Ogopogo


Salah Satu Foto Ogopogo
Salah Satu Foto Ogopogo
Mungkin sudah banyak yang mendengar kisah tentang Monster Danau Loch Ness, Skotlandia yang akrab dipanggil “Nessie” oleh beberapa penduduk setempat (untuk yang belum tahu soal Monster Loch Ness dapat membaca di sini
Ternyata, tidak hanya Danau Loch saja yang menyimpan sebuah misteri suatu kehidupan monster danau yang masih diliputi misteri,ternyata kisah serupa juga ada pada sebuah danau di Canada yang dinamakan Danau Okanagan.
Masyarakat mengenal Monster ini dengan sebutan Ogopogo. Topik pembicaraan mengenai eksistensi makhluk misterius danau Okanagan ini sudah terdengar kisahnya sejak tahun 1850, dimana pada awal tahun itu untuk pertama kalinya Ogopogo menampakkan dirinya kepada para wisatawan dan penduduk setempat.
Para saksi mata yang melihatnya menuturkan bahwa suatu makhluk dengan perawakan yang besar, berwarna gelap dan memiliki bentuk tubuh yang panjang telah muncul ke permukaan air dan berenang menyusuri tengah danau.
Kejadian itu berlangusung dalam waktu yang cukup lama,sehingga mereka dapat lebih leluasa untuk mengamati dan mengidentifikasi makhluk tersebut.
Menurut mereka, makhluk tersebut bukannlah seekor ular, walaupun sedikit memiliki kesamaan bentuk pada tubuh-nya.Seekor ular tidak ada yang memiliki ukuran tubuh sebesar dan sepanjang makhluk ini.
Banyak orang yang mendengarkan penuturan para saksi mata justru mencemooh mereka, mungkin makhluk tersebut memang benar-benar seekor ular , tetapi terlalu dibesar-besarkan mengenai penggambaran sosoknya, sehingga menjadi suatu hal yang mengemparkan.
Namun, pendapat orang-orang yang menganggap makhluk tersebut hanyalah seekor ular ahirnya tumbang juga ketika pada pertengahan tahun 1957, untuk kali pertamanya sosok Ogopogo berhasil diabadikan dengan menggunakan kamera film 16 mm oleh salah seorang wisatawan.
Dari beberapa identifikasi yang dilakukan oleh pakar-pakar zoologi dari hasil foto otentiknya, mereka sepakat menyatakan bahwa memang makhluk tersebut bukan merupakan seekor ular dan sejenisnya.
Sejak saat itulah, topik pembicaraan mengenai Ogopogo yang beberapa tahun silam menjadi sebuah kontroversi kini mulai mencuat di lapisan Masyarakat.
Dan, sampai saat ini pun belum ada kepastian mengenai identitas yang berhasil digali dari makhluk tersebut, hanya saja banyak pakar yang menganggap Ogopogo sebagai salah satu species Oar Fish yang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari species sejenisnya.
Hanya saja yang masih membingungkan,jika Ogopogo benar-benar merupakan salah satu species Oar Fish,mengapa bentuk fisik kepalanya sama sekali berbeda? dan satu lagi yang membuatnya semakin membingungkan adalah cara dia berenang bergerak menyusuri danau yang selalu memperlihatkan bentuk seperti punuk-punuk berjejer (mengombak), dimana gerakan seperti itu sangat berbeda sekali dengan cara berenang seekor oar fish maupun ular sekalipun.
Nampaknya Ogopogo ini termasuk katagori makhluk misterius yang sedikit “narsis” dan “fotogenik”,karena hampir disetiap tahunnya makhluk tersebut selalu muncul kepermukaan danau dan banyak wisatawan yang mengabadikan sosoknya melalui kamera dan video recorder.Mungkin hal ini tidak bisa kita temui pada Nessie yang terkesan malu-malu dengan kamera.
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini penelitian terhadap Ogopogo masih kurang gencar dilakukan oleh para ilmuan.Ogopogo seakan-akan tenggelam oleh kepupuleran Nessie yang lebih banyak mendapat sorotan dari para peneliti dan masyarakat umum.
Tapi setidaknya berkat jasa Ogopogo-lah danau Okanagan yang tergolong tidak terlalu indah, kini dapat terkenal dimasyarakat dunia dan menjadi salah satu sektor pariwisata utama bagi Canada.
Berikut ini adalah laporan-laporan mengenai penampakan Ogopogo yang berhasil disaksikan oleh beberapa orang terhitung sejak kemunculannya pertama kali pada tahun 1850 sampai tahun 1990.
1872 – Ogopogo muncul untuk kali kedua-nya pada tahun ini, dua orang wisatawan Amerika Mr dan Mrs.Allison adalah orang yang melaporkan kemunculannya
1926 – Serombongan wisatawan dari suatu sekolah mengklaim kembali melihat kemunculan Ogopogo
1947- Ogopogo kembali menampakkan dirinya, namun kemunculannya pada tahun ini sangatlah mengagumkan karena ia bergerak mendekati sisi danau dengan menunjukkan cara berenang seperti mengombakkan tubuh-tubuhnya,namun tidak sampai beberapa saat kemudian makhluk tersebut kembali masuk kedasar danau.Kejadian ini setidaknya disaksikan oleh puluhan saksi mata
1957 – Untuk pertama kalinya sosok Ogopogo berhasil diabadikan dengan kamera film 16mm oleh Geoffrey Tozer
1959 – Kemabali Ogopogo muncul dan sempat diabadikan oleh keluarga R.h. Miller
1964 – Ogopogo dilaporkan kemunculannya oleh Mr & Mrs Pat Marten,mereka memperkirakan hewan tersebut mempunyai panjang tubuh 20 meter lebih.
1965- Photo taken by a Parmenter family member.
1976- Photo taken by Ed Fletcher of North Vancouver
1978, 1979, 1981 – Photos taken by author Arlene Gaal.
1981- Photo taken by a Wachlin family member.
1984 – Photo taken by a Svensson family member.
1987-1990 – Secara berturut-turut dalam periode tahun tsb, John Kirk (salah seorang peneliti Ogopogo) berhasil mengambil gambar sosoknya, bahkan untuk yang pertama kalinya sosok Ogopogo berhasil diabadikan dengan Video recorder.
Sampai sekarang pun Ogopogo masih sering disaksikan muncul kepermukaan Danau disetiap tahunnya. Namun ada satu hal yang menurut saya ada keganjilan, jika memang sudah sedemikian banyak bukti tentang adanya Ogopogo ini, mengapa tidak dilakukan penyelidikan ke dalam danau saja, dan langsung dicari apa benar ada Ogopogo di sana, atau orang-orang takut jika mereka masuk danau, akan dimakan ama si Ogopogo, hehehehehe… :D

Muc-sheilch

The Muc-sheilch/Muc-sheilche (pron. "Mook Helluch") was an alleged freshwater loch-monster said to have been seen often in Loch Maree.

A local man, Mr. Banks of Letterewe, tried at great expense to drain Loch-na-B?iste (Maree) in the 1850s, but failed. He also tried to poison it with quicklime. I can find no reference as to why exactly he took this course of action. Over the years, there have been unsubstantiated reports of something large in the water being seen by local fishermen, but nothing in the way of photographs or film. One strand of thought has it as a large eel, although this particular viewpoint only seems to have become popular, with regards to Nessie, in the early years of the 21st Century. General opinion seems to be that it is a local legend.

Loch-na-B?iste is Scottish Gaelic for "loch of the beast", 'beast' often being used to describe a perceived loch monster. ?Seilch? may well be cognate with 'selkie' (the seal-people of folklore). ?Muc? generally means a pig, but is also applied to whales, as in 'muc-mhara' (sea pigs), & this has engendered another, more spurious line of thought proclaiming it as a landlocked freshwater whale!

Remote Loch Maree in Wester Ross, near Aultbea, is the largest freshwater loch north of Loch Ness. It has an average depth of 125 feet, is over 12 miles long & 2? miles at its widest point. The loch has 30 islands, 5 of which are large & forested. It was designated a Wetlands Conservation Area in 1994.

The islands of Loch Maree also hold significance in that they?re littered with many items of historical significance, including a chapel, a holy well and other ruins/sites said to be part of the ancient residence of Saint Maol Rubha. There are also ancient trees which were said to be used in druid rituals, & even waters which are said to cure lunacy.


http://www.cryptozoology.com/glossary/glossary.php

Amphibians: Salamander & Newt

Range: all continents except Antarctica
Habitat: ponds, swamps, streams, lakes, rivers, wet mountain forests, and grasslands

Is a newt a salamander?

Yes, but a salamander is not always a newt. Confused? The word "salamander" is the name for an entire group, or scientific order, of amphibians that have tails as adults. This includes animals commonly known as newts and sirens. Most of the animals in the salamander order look like a cross between a lizard and a frog. They have moist, smooth skin like frogs, and long tails like lizards. The term "newt" is sometimes used for salamanders that spend most of each year living on land. The name "siren" is generally given to salamanders that have lungs as well as gills and never develop beyond the larval stage. Other names salamanders go by include olm, axolotl, spring lizard, water dog, mud puppy, hellbender, triton, and congo eel. Whew!

From head to toes

Most salamanders are small, and few species are more than 6 inches (15 centimeters) long. Their heads are narrow and they have small eyes. Sirens have only two legs, but the other salamander species develop four legs as adults, with fleshy toes at the end of each foot. Some species, like paddle-tail newts Pachytriton labiatus and male palmate newts Triturus helveticus, have fully webbed feet with very short toes to help them climb on slippery surfaces. Those that like to dig, such as the tiger salamander Ambystoma tigrinum, have no webbing at all on their feet. A salamander’s hind legs grow more slowly than its front legs. (Frogs and toads are just the opposite. Their hind legs grow more quickly than their front legs.) All four legs on a salamander are so short that its belly drags on the ground. The exception to this is the sirens. They don’t have hind legs at all! Their long, strong tails are flat to help sirens swim like a fish, with the tail flapping from side to side.

Take a deep breath

Different members of the salamander order have developed different ways of breathing. Sirens keep their gills all their lives, allowing them to breathe underwater. Others, such as the tiger salamander, lose their gills as they grow older and develop lungs to breathe air. But most, like the arboreal salamander Aneides lugubris and the California slender salamander Batrachoseps attenuatus, don’t have lungs or gills as adults. Commonly called lungless salamanders, they breathe through their skin and the thin membranes in the mouth and throat.

All wet!

Newts usually have dry, warty skin and salamanders have smooth, slick skin. But of course there are exceptions! But no matter what it may look or feel like, salamanders and newts need to keep their skin moist. If they get too hot and dry, they could die.

Land or water or both?

Since salamanders need to stay cool and moist to survive, those that live on land are found in shady forested areas. They spend most of their time staying out of the sun under rocks and logs, up in trees, or in burrows they’ve dug in the damp earth. Some will seek out a pool of water where they can breed and lay their eggs, before returning to the land. Others, like sirens, olms Proteus anguineus, and axolotls Ambystoma mexicanum, spend their entire lives in the water.

Life cycle

Different salamander species have different life cycles, too. Some breed, lay their eggs, and hatch on land. Others, such as some newts, breed and lay eggs in the water. When the eggs hatch, the larvae grow up in the water, then return to the land as adults. Still others, such as the giant salamander Andrias sp. and the hellbender Cryptobranchus alleganiensis, spend all the stages of their life cycle in water. Lungless salamanders have eggs that hatch directly into small salamanders, skipping the larval stage entirely!

Bringing up baby

Most salamander species hatch from eggs. Female salamanders that live entirely in the water lay more eggs—up to 450—than those that spend some time on land. The California newt Taricha torosa lays a clump of 7 to 30 eggs on underwater plants or exposed roots. The eggs are protected by a toxic gel-like membrane. Lungless salamanders such as the spiny salamander Plethodon sp. are devoted parents that share egg-guarding duties. They curl their bodies around the eggs and turn them over from time to time. This protects the eggs from predators and from fungal infections. Some mother newts keep their eggs safe by wrapping leaves around each one as they are laid—up to 400 eggs! Salamanders in the larval stage of their development are called efts.

What’s on the menu?

All salamanders are carnivores, but they are seldom in a hurry to catch their meals. Because they move more slowly than other meat eaters, salamanders tend to eat slow-moving, soft-bodied creatures such as earthworms, slugs, and snails. Larger species may eat fish, crayfish, and small mammals such as mice and shrews. They might approach their target slowly, then make a quick grab with their sharp teeth. Or they might hide and wait for a tasty meal to pass close enough to snatch. Several species can flick out their tongues to catch their food as it goes by.

Staying safe

Would you want to eat something that tasted awful or hurt your mouth? Probably not! Salamanders have some special ways to keep from becoming another animal’s next meal. Most salamanders, such as the red-spotted newt Notophthalmus viridescens, have brightly colored, poisonous skin. The bold color tells predators that the newt is not safe to eat. Many salamanders have glands on the back of the neck or on the tail. These glands can secrete a poisonous or bad-tasting liquid. Some species can even shed their tail during an attack and grow a new one later. The ribbed newt Pleurodeles waltl has needlelike rib tips. It can squeeze its muscles to make the rib tips pierce through its skin and into its enemy, teaching it a sharp lesson! The California salamander Ensatina eschscholtzii stands high on its legs and waves its tail to scare away danger.

Humans: the biggest enemy

Unfortunately, people are the salamanders’ worst enemy. Humans continue to pollute and destroy wetland habitats. Remember, these amphibians need water to survive. Filling in their ponds, using pesticides, and rerouting water for our own water needs has caused declines in many salamander populations. We need to help conserve remaining habitats and provide new gardens and parks for these unique creatures.

http://www.sandiegozoo.org/animalbytes/t-salamander.html

Insects: Dung Beetle

Range: found on all continents except Antarctica
Habitat: farmland, forest, grasslands, prairies, and deserts
Dung beetles are stout-bodied insects. Their broad front legs have sawlike notches for digging, scraping dung into balls, and fighting.

Three varieties of
dung beetle

Dung beetles do just what their name suggests: they use the manure, or dung, of other animals in some unique ways! These interesting insects fly around in search of manure deposits, or pats, from herbivores like cows and elephants. Dung beetles come in a variety of colors, from dull and glossy black to metallic green and red. Ancient Egyptians thought very highly of the dung beetle, also known as the scarab (from their taxonomic family name, Scarabaeidae). They believed it kept the Earth revolving like a giant ball of dung, linking the insect to Khepri, the Egyptian god of the rising sun.
About 75 species of dung beetles are found in North America, but only about a dozen of those are significant dung buriers.

Getting the job done

Scientists group dung beetles by the way the beetles make a living: rollers, tunnelers, and dwellers. Rollers form a bit of dung into a ball, roll it away, and bury it. The balls they make are either used by the female to lay her eggs in (called a brood ball) or as food for the adults to eat. Tunnellers land on a manure pat and simply dig down into the pat, burying a portion of the dung. Dwellers are content with staying on top of the dung pat to lay their eggs and raise the young.

Not all dung is created equal

Most dung beetles use the manure of herbivores, which do not digest their food very well. Their dung contains half-digested grass and a smelly liquid. It is this liquid that the adult beetles feed on. Some of them have specialized mouthparts designed to suck out this nutritious soup, which is full of microorganisms that the beetles can digest. A few species feast on the dung of carnivores, while others skip the doo-doo and instead eat mushrooms, carrion, and decaying leaves and fruits.
Timing is everything for dung beetles. If the dung has been sitting long enough to dry out, the beetles can’t suck out the nutrition they need. One study in South Africa found that dung beetles laid more eggs during the rainy season when dung pats contain more moisture.
In some dung beetle species, both sexes work together to roll the dung back to the nest for egg laying.

A family on a roll

After a chance encounter at a dung pat, male and female rollers establish a pair bond. The male offers the female a giant-sized brood ball. If she accepts it, they roll it away together or the female rides on top of the ball. They must watch out, though, as other beetles may try to steal their ball!
The new pair finds a soft place to bury the ball before mating. The male then leaves to find more partners. The female stays to make another brood ball or two and lays a single egg in each. She then coats and seals the ball with a mixture of dung, saliva, and her own feces and stows it underground. Some dung beetle mothers stay with the ball for two months, cleaning the larvae (called grubs) that hatch and removing their feces.

At home in a tunnel

Tunnelers dive into a cow pile and tunnel straight down to set up the family home. Storing the dung underground keeps it fresh and protects the developing grubs from predators and parasites. The female sorts through dung and arranges it throughout the tunnel. The male’s job is to bring home the doo-doo. One or both of the parents stay with the larvae until they mature, which can take up to four months. This level of parental care is unusual in the insect world.

These mighty insects can move dung balls weighing up to 50 times their own weight!

Room with a view

Dwellers are on top of the world—or at least the dung heap. The female lays her eggs on top of manure piles, and the entire development from egg to adult takes place inside the dung pat. Dwellers are smaller than tunnelers and rollers, and they seem to like cow patties best for raising a family. The adults can be found in fresh, moist droppings, while the larvae are slowly growing in dung that is drying out.

Tools of the trade

Dung beetles have impressive “weapons,” some with a large hornlike structure on the head or thorax that males use for fighting. They have spurs on their back legs that help them roll the dung balls, and their strong front legs are good for fighting as well as digging. Most dung beetles are strong fliers, with long wings folded under hard covers (elytra), and can travel several miles in search of the perfect dung pat. With specialized antennae, they can catch a whiff of dung from the air.
We may dislike the habits of dung beetles, but our world would be much smellier without them!

What the world needs now

So what’s so great about dung beetles? They are mighty recyclers! By burying animal dung, the beetles loosen and nourish the soil and help control fly populations. The average domestic cow drops 10 to 12 dung pats per day, and each pat can produce up to 3,000 flies within two weeks. In parts of Texas, dung beetles bury about 80 percent of cattle dung. If they didn’t, the manure would harden, plants would die, and the pastureland would be a barren, smelly landscape filled with flies!
In Australia, the native forest-dwelling dung beetles could not keep up with the tons of manure deposited by cattle in the pastures, causing a tremendous increase in the fly population. African dung beetles, which do well in open fields, were brought to Australia to help with the growing piles of poo, and today the pastureland is doing well and the fly populations are under control.
We may question their lifestyle, but it’s certain that our world would be a much smellier place without the mighty dung beetle!

http://www.sandiegozoo.org/animalbytes/t-dung_beetle.html

Mammals: Kinkajou

Range: southern Mexico, Central America, and South America
Habitat: rain forest
kinkajou

Kinka-who?

The kinkajou (pronounced KINK ah joo) is a mammal found in tropical rain forests from southern Mexico to Brazil. The scientific name for the kinkajou, Potos flavos, translates to “golden drinker” because the animal has thick, golden fur and often drinks nectar from large balsa flowers. Kinkajous are considered an important pollinator because they go from flower to flower drinking nectar and the pollen sticks to their face and then smears off at the next flower. The name kinkajou comes from a word in the local language that means “honey bear,” as these slender animals have been seen raiding beehives for the golden liquid. Kinkajous have quite a sweet tooth!
Although kinkajous are carnivores (they have canine teeth), most of their diet is fruit. On rare occasions they eat eggs, hatchlings, insects, and small vertebrates. The kinkajou at the San Diego Zoo's Wild Animal Park is fed dog chow, yams, and carrots; special treats include corn kernels and bananas.

kinkajou

Who are you calling a monkey?

Looking a bit like a monkey, kinkajous are often mistakenly called primates. They do have many traits and features similar to that of primates. However, kinkajous belong to the family Procyonidae, which includes raccoons. Kinkajous and binturongs are the only two carnivores that have a prehensile tail. The tail is used for balance, to hold on to branches while reaching for food, and even to snuggle with while sleeping. This tail acts like a fifth limb and is almost as long as the kinkajou's body. Kinkajous can hang by the tip of their strong tail, then turn their body in such a way that they can climb back up their own tail! They are very deliberate in their every movement, carefully placing all five limbs for maximum balance. Their slightly webbed paws are very nimble, and by rotating their hind ankles, kinkajous can descend from a tree headfirst. This helps kinkajous make a quick escape when in danger from larger predators such as jaguars, ocelots, and margays.


kinkajou

Secretive creatures of the canopy

Kinkajous are arboreal and nocturnal, making them difficult to watch and study. They rarely come down from the branches high in the rain forest canopy. During the day, they find hollows in the trees to sleep in, only coming out at dusk to find food. Kinkajous are very vocal animals and can be heard screeching and barking all around the forest, earning them yet another nickname, la llorona, Spanish for “the crying woman."

Leaving its mark

Each kinkajou has a home range and usually travels the same route each night. Scent glands at the corner of the mouth, the throat, and the abdomen help the animal mark its territory. Kinkajous are mostly solitary creatures, but they have often been observed playing, grooming, and sometimes sleeping together in small groups

Hanging around

Because of their solitary nature, an adult female kinkajou takes full responsibility for caring for her young. She gives birth to one baby (two are rare) in the hollow of a tree. After one or two weeks the baby's eyes open and it begins to eat solid food. By the time it is seven weeks old, the youngster can hang by its tail.

Not the Hollywood type

Although kinkajous are not an endangered species, poachers hunting them for fur and meat or for the exotic pet trade are threatening their numbers. Because they are wild animals, they do not make good pets, no matter how cute you might think they are! Kinkajous have a painful bite and can be very destructive to a home in the middle of the night, when they are most active.


http://www.sandiegozoo.org/animalbytes/t-kinkajou.html

Birds: Kagu

Range: New Caledonia in the South Pacific
Habitat: tropical and dry forests
Kagu adult Unlike other ground-dwelling birds, the adult kagu’s light-colored feathers do not provide camouflage.

Are you a kagu?

With its pearl gray feathers, bright orange legs and bill, head crest like a cockatoo’s, and bold stripes on its wingtips, the kagu has a most unusual look for a bird that lives on the ground. This rare, flightless bird is from the forests of New Caledonia’s main island, in the South Pacific. About the size of a chicken, the kagu lives in rain forests as well as drier forests. It has specialized feathers called powder downs; these feathers make a powder that cleans and waterproofs the kagu in its wet habitat. Although it is similar to herons and egrets, it has no known close relatives.

Staying safe

The kagu’s wings may appear large for a bird that doesn’t really fly, but they play an important role. A kagu parent flaps its fully opened wings on the ground, as if injured, to distract a would-be predator away from its chick. When open, the wings have dark stripes that may surprise a potential enemy. The kagu can also run quickly to escape danger and can be quite hard to find in its forest home. The large wings also help the bird keep its balance while climbing and “hopping” over rocks and other rough spots.
Adult kagu Kagus use their bill to brush aside fallen leaves that may be hiding an insect meal.

Creature features

Large, dark red eyes give the kagu excellent vision. The long, orange-red bill is strong and pointed, perfect for shallow digging in leaf litter and between rocks in search of its favorite foods: larvae, spiders, centipedes, bugs, cockroaches, millipedes, beetles, snails, worms, and lizards. That brilliant beak helps the bird pull prey out, in pieces if necessary, and this method makes food, such as the not-so-tasty millipede, edible—the bird doesn't have to eat the part that has the yucky substance in it! The kagu is a patient hunter, often standing perfectly still on one foot for long periods of time, watching and listening for prey. Once discovered, the bird will strike quickly to catch the food.

Hear, hear!

The sounds made by kagus are different for males and females. It may remind you of a rooster crowing and a dog barking at the same time, but the female’s song is shorter and faster than the male’s. Pairs sing a duet in the early morning to warn other birds that this is their turf! A former San Diego Zoo director described the kagu’s morning song as a “screaming challenge”! Duets can last up to 15 minutes. The birds sing year-round, but more often during breeding season. Kagus also hiss and make soft, clucking sounds.
Kagu egg The kagu female lays a single egg in a patch of leaves or other material scraped together by the parents.

Ruling the roost, raising
the kid

When making their home, kagus choose a place on the ground that is naturally sheltered by rocks, but they can also live under tree roots or in holes in dirt banks. Kagus perch on low-hanging branches or tree trunks, although they also use vines, raised roots, or rocks for resting places.
Kagu parents almost always raise just one chick per year. Courtship involves elaborate “strutting” behavior with a fanned crest and capelike wing movements—they dress to impress! These birds are monogamous, and although they defend their territory together, the male and female may spend much of their time alone.
A kagu chick starts out looking a bit scruffy when compared to its parents.

During the breeding season, they come together to share incubation and nesting duties. Nests can be mounds of leaves on the ground, in which a single egg with light brown splashes is laid. After more than a month-long incubation, the chick hatches, with its eyes closed, and does not move from the nest until three days of age. The young kagu looks different from its parents, with brownish feathers to camouflage it against the dark forest floor.

Kagu parents Using their wings as a show of force, kagu parents warn off a predator to protect their chick.
Kagu parents are very patient when teaching their youngster to eat: an adult holds prey in its bill, close to the chick’s head, and calls softly until the baby opens its beak. When the chick is about two weeks old, it starts to demand to be fed! Parents feed their chick until it’s about 14 weeks of age. The young bird may stay within its parents’ territory for up to six years.

A feather in their cap—not ours!

The kagu is the national bird of New Caledonia, and its image is used frequently to promote its economy. But the kagu’s crest feathers—its crowning glory—were so prized by the makers of ladies’ fancy hats in the 1800s that the bird almost became extinct. Predation by dogs, cats, pigs, and rats that were brought to the main island also caused the number of kagus to drop. With the bird’s popularity as a pet and even as a food source, and the loss of much of its forest habitat, the kagu soon became endangered. Fortunately, New Caledonians are working to protect their national symbol. Successful reintroductions have been carried out in a national park where predators have been controlled.



http://www.sandiegozoo.org/animalbytes/t-kagu.html

Birds: Thick-billed Parrot

Range: northern Mexico
Habitat: mountain pine forests
thick-billed parrot

Snow parrots

Most people think parrots live only in tropical climates, but the endangered thick-billed parrot prefers higher elevations and makes it home in the pine forests of northern Mexico. Because of their choice of habitat, they are sometimes called snow parrots, or cold-weather parrots. The thick-billed parrot’s green coloring helps it to blend in with the pine needles in the forest. The birds also have red markings on the head and on the bend of the wing and lower leg, and their eyes are ringed with yellow skin that is bare of feathers.

It's all about community

Like other parrot species, thick-billed parrots are intelligent, curious, and social birds, living together in flocks all year. Records from the past tell us of sightings of flocks numbering in the thousands; however, current flock sizes range from 12 to 1,000 birds. Within the flock there is a particular "pecking order" and rules each parrot must follow. Thick-billed parrots are quite noisy: their calls to each other in flight sound like children laughing. They will also alert other members of the flock if predators are near.

Avian aerobatics

These birds are powerful flyers that can usually escape from larger birds of prey. Thick-billed parrots are even able to out-maneuver peregrine falcons by diving toward the ground and flying into trees the falcons will not enter. Their seasonal migrations can cover up to hundreds of miles, but not all flocks migrate. Although they have not been tracked along the entire route, it is believed that the thick-bills have the ability to make the trip in one nonstop flight.

Mmmmm! Pine seeds!

The thick-billed parrot’s main food item is pine seeds, although they do eat other seeds, berries, fruit, insects, and tree bark. Its beak can crack even the hardest nut shell, and the bird can perch on one thick, strong foot while using the other like a hand to hold and turn the stubborn nut. To get at the pine seeds, a parrot will shred the pinecone with its beak, starting at the base, and remove each seed as it works its way to the tip of the cone in a spiral fashion. This is a very complicated process which parents must teach their chicks over time; this can take up to several months! Pine seeds are such an important part of this species’ diet that their breeding cycle matches the peak pine seed production. Thick-billed parrots at the San Diego Zoo and the Wild Animal Park are offered pine seeds in shells as well as other seeds and fruits.
thick-billed parrot

A room at the top

Although these parrots do visit lower elevations, thick-bills spend most of their time at higher altitudes, from 3,900 to 11,500 feet (1,200 to 3,500 meters). All nesting activity takes place at the higher elevations, possibly because the preferred species of pine trees are found at those elevations. The parrots build their nests in cavities in dead or decaying trees, preferring to use old woodpecker holes or abandoned flicker nesting holes, which the birds enlarge by chewing the wood. An adult male and female may stay together as a pair for life. In 2006, researchers in Madera, Chihuahua, Mexico, found that many nesting pairs shared trees, with up to three nests per tree. Thick-billed parrot chicks develop slowly and are cared for by both parents. They stay in the nest for two to three months before they fledge and learn to fly, and the parents continue to feed them for a short time while they learn to forage for themselves.
thick-billed parrot chick

Conservation status

The thick-billed parrot population has dropped since the early 1900s. Although its range once included southern areas of Arizona and New Mexico south to Venezuela in South America, it is now found mostly in the Sierra Madre Occidental Mountains of northern Mexico. What has happened? Hunting and logging in the parrots' pine forest habitat and the illegal capture of birds for the pet trade are the greatest threats facing thick-billed parrots today.
It is believed that half of the world's thick-billed parrots live in a 6,000-acre (2,400-hectare) tract of forest in Chihuahua, Mexico, which is the birds' most important nesting area. In 2000, a private group that owned the land agreed to stop logging in the area and plans are under way to develop a certified sustainable timber harvest and build cabins for ecotourists.
The San Diego Zoo participates in the Species Survival Plan for the thick-billed parrot and is part of a group of conservation organizations supporting field studies and working to save the birds' remaining habitat.

High hopes

With their noisy habits and eye-catching plumage, thick-billed parrots are hard to ignore. Today, with a breeding program in place, habitat protection undertaken, and public awareness on the rise, our western mountains just might echo again with the riotous calls of flocking thick-billed parrots!



http://www.sandiegozoo.org/animalbytes/t-thick-billed_parrot.html